Rabu, 27 Agustus 2014

MISTERI LEGENDA GUNUNG TUGEL

Misteri Dunia Mistik -Di sepanjang kaki lima di kota Surakarta, Yogyakarta  dan mungkin juga di beberapa kota lain  akan melihat adanya warung tenda yang menjual susu sapi Boyolali. Legenda Gunung Tugel juga berasal dari Boyolali ini. Jika dari kota Solo Boyolali berjarak 27 kilometer  dari kota Semarang,

Seperti kebanyakan legenda di Jawa Tengah lainnya, awal le­genda ini bermula dari sebuah makam kiai . Makam itu adalah makam Kiai Singaprana yakni  seorang cucu Raden Joko Dandun, yang oleh masyarakat Surakarta sering disebut dengan nama Syekh Bela-Belu yakni putra Brawijaya V, raja terakhir majapahit.
Singaprana adalah seorang kiai yang sakti dan baik hati nya. Dia selalu bersedia menolong orang yang memerlukan bantuan tanpa memandang derajat, pangkat, maupun golongan lainya. Sebagaimana layaknya keturunan raja jawa lainnya, dia memiliki tanah kekuasaan yang  letaknya di wilayah Boyolali. Hidupnya sederhana  tetapi wajahnya selalu ceria dan gembira . Pekerjaannya bertani  pada saat musim tanam selesai dan menunggu masaknya padi  Singaprana berjualan nasi dan cendol di pasar. Meskipun baik hatinya ada juga orang membenci Singaprana  di antaranya Raga Ranting.
Pada suatu malam yang sepi Raga Ranting tidak dapat me­mejamkan mata sebentar pun. Di dadanya panas dan hatinya ge­muruh kencang sekali. Karena seluruh tubuhnya terbakar iri hati. Oleh ka­renanya  saat matanya terbuka  pandangannya gelap dan  ketika matanya terpejam akan  terbayang wajah Kiai Si­ngaprana yang senantiasa penuh tawa dan murah senyum. Tanpa alasan yang masuk akal  dendam menyusup ke seluruh susunan syarafnya naga ranting. Malam itu juga Raga Ranting memutuskan untuk membunuh Kiai Singaprana.
Raga Ranting tinggal di Pegunungan Kendeng sedangkan  Kiai Singaprana tinggal di puncak pegunungan se­belahnya. Untuk menghabisi riwayat Singaprana pagi harinya  Raga Ranting mengikatkan seutas tali di dua puncak pegunungan . lalu  dia menggulirkan sebutir telur yang bergulir luar biasa cepatnya dari rumahnya dan membentur puncak pegunungan tem­pat tinggal Kiai Singaprana berada. Benturan itu menim­bulkan bunyi yang luar biasa kerasnya  melebihi seribu bom nuklir. Oleh karena itu puncak gunung itu patah / Tugel . Akan tetapi  Kiai Singaprana selamat dan rumahnya pun tetap utuh, dan  termasuk segala perabot di dalamnya. Tetapi  Apakah Kiai dendam? Tenti tidak! Jangankan dendam marah pun tidak.
Melihat hal tersebut  Raga Ranting semakin panas dadanya. Dendamnya berkobar lagi.  Seluruh tubuh dan jiwanya dikuasai kebenciannya sendiri sehingga akhir­nya seluruh tubuhnya hancur luluh (penduduk Surakarta mengatakan rontang-ranting Yaitu  suatu istilah yang sampai kini masuk kosakata Bahasa Jawa.)
Hati Kiai Singaprana yang begitu baik memberikan kesan bagi penduduk setempat bahwa mungkin Kiai itu sebenarnya salah seorang wali yang sabar. Pembicaraan demikian makin meluas ,sehingga wilayah tempat tinggal Kiai Singaprana sampai sekarang disebut Walen. Kesaktian dan kebaikan hati Kiai Singaprana tersebar luas ke mana-mana sehingga Sultan Bintara di Demak pun tertarik mendengar cerita punggawa tentang kiai tersebut. Tidak heran  jika Bintara ingin mengunjungi Kiai Singaprana untuk membukti­kan seberapa jauh kesaktian kiai tersebut.
Agar kedatangannya tidak mencurigakan maka  Sultan Bintara menyamar sebagai pengemis. ketika tiba di depan rumah Kiai Singaprana  pengemis itu disambut dengan penuh hormat oleh kiai singaprana bahkan disilakan duduk di balai-balai. Kiai Singaprana sendiri duduk di lantai tanah, seperti  menghadap raja. Tiap kali  pe­ngemis itu bertanya pasti  dijawabnya dengan bahasa tinggi penuh hormat serta dimulai dan diakhiri de­ngan sembah. Setelah tiga kali berturut-turut Kiai Singaprana menyembah, pengemis itu tidak tahan lagi lalu  turun dari balai-balai dan Kiai Singaprana dipeluk serta dipuji sebagai kiai yang waskita (tajam pengamatannya).
Bersamaan dengan itu  Bintara mengemukakan bahwa ia akan menghajar Kebo Kenanga yakni  Adipati Pengging yang congkak. Mendengar itu Kiai Singaprana tidak menyetujui gagasan itu karena Kebo Kenanga adalah orang yang sakti. Kenyal kulitnya, tidak bisa dilukai oleh senjata apapun; keras tulangnya bagaikan besi dan kuat ototnya bagaikan kawat baja. Untuk mengalah­kannya harus diusahakan suatu cara tertentu dan khusus. Singkat cerita  Sultan Bintara harus bersabar. Saran ini ditafsirkan Sultan Bintara sebagai usaha Kiai Singa­prana untuk menghalangi maksudnya  bahkan Bintara menuduhnya bersekutu dengan Kebo Kenanga dan  Kiai pun menunduk, sedih  lalu menggeiengkan kepala tiga kali.
Untuk menghindari perdebatan yang berkepanjang­an lalu  Kiai Singaprana segera berkata agar Bintara membuktikan ucapannya. Caranya sebagai berikut  Jika menjelang penyerangan nanti pasukan Demak memukul bendhe (gong kecil) sebagai tanda pe­nyerbuan dan bunyinya pelan  itu tanda serangan mereka akan gagal total. Jika berbunyi keras  akan lancar gempuran pasukan Demak  dan kemenangan jelas pada pihak Bintara.
Dengan agak jengkel, Bintara keluar dari rumah lalu  la berjalan lebih tegap dan tidak lagi sebagai pengemis. Akan tetapi  alangkah terkejut hatinya ketika tiba di suatu desa. Di sana ia menjumpai pasukan Demak bersiaga  Karena tidak tega, Pasukan Demak meng­ikuti perjalanan Bintara dari belakang sambil berlatih perang-perangan. Kesetiaan pasukan itu dipuji Bin­tara  Sebagai tanda terima kasih dan  desa itu dinama­kannya dusun Manggal. Asal Kata ini dari kata manggala, yang artinya pimpinan pasukan.
Tibalah saatnya bagi Bintara untuk membuktikan kata-kata Kiai Singaprana  Bendhe yang tergantung di pohon duwet , diperintahkan untuk dipukul. Bintara heran sekali yang terdengar hanya suara goyangan bendhe bergesekan dengan ranting pohon duwet.  Dan pukulan kedua menghasilkan bunyi aum yakni  suara harimau. Pen­duduk yang tinggal di desa lain yang  tidak jauh dari peristirahatan pasukan Demak, dan mereka  berteriak , bahwa mereka mendengar suara simo (harimau). Karena itu  desa itu hingga kini disebut desa Simo.
Suara aum dari gong akhirnya meyakinkan Sultan Bintara bahwa Kiai Singaprana memang benar-benar sakti mandraguna. Beliau pun bertitah kepada pasukannya agar kembali ke Demak.
Tidak lama kemudian  Kiai Singaprana, yang se­benarnya sudah tua dan merasa bahwa ajalnya hampir tiba. Dia  berpesan kepada istrinya yakni Nyai Singaprana,  bahwa jika ia meninggal agar dikuburkan di gunung yang putus karena ledakan benturan telur Raga Ranting.
Demikianlah Kiai Singaprana akhirnya dimakam­kan di Gunung Tugel oleh penduduk setempat, Kiai Singaprana juga disebut Kiai Singaprana Simawalen dan perlu diketahui desa Simo yang terletak di sebelah timur dan desa Walen yang terletak di sebelah barat berjarak empat kilometer.