Misteri Dunia Mistik -Di sepanjang kaki lima di kota Surakarta,
Yogyakarta dan mungkin juga di beberapa
kota lain akan melihat adanya warung
tenda yang menjual susu sapi Boyolali. Legenda Gunung Tugel juga berasal dari
Boyolali ini. Jika dari kota Solo Boyolali berjarak 27 kilometer dari kota Semarang,
Seperti kebanyakan legenda
di Jawa Tengah lainnya, awal legenda ini bermula dari sebuah makam kiai .
Makam itu adalah makam Kiai Singaprana yakni seorang cucu Raden Joko Dandun, yang oleh
masyarakat Surakarta sering disebut dengan nama Syekh Bela-Belu yakni putra
Brawijaya V, raja terakhir majapahit.
Singaprana adalah seorang
kiai yang sakti dan baik hati nya. Dia selalu bersedia menolong orang yang
memerlukan bantuan tanpa memandang derajat, pangkat, maupun golongan lainya.
Sebagaimana layaknya keturunan raja jawa lainnya, dia memiliki tanah kekuasaan
yang letaknya di wilayah Boyolali.
Hidupnya sederhana tetapi wajahnya
selalu ceria dan gembira . Pekerjaannya bertani pada saat musim tanam selesai dan menunggu
masaknya padi Singaprana berjualan nasi
dan cendol di pasar. Meskipun baik hatinya ada juga orang membenci Singaprana di antaranya Raga Ranting.
Pada suatu malam yang sepi Raga
Ranting tidak dapat memejamkan mata sebentar pun. Di dadanya panas dan hatinya
gemuruh kencang sekali. Karena seluruh tubuhnya terbakar iri hati. Oleh karenanya saat matanya terbuka pandangannya gelap dan ketika matanya terpejam akan terbayang wajah Kiai Singaprana yang
senantiasa penuh tawa dan murah senyum. Tanpa alasan yang masuk akal dendam menyusup ke seluruh susunan syarafnya
naga ranting. Malam itu juga Raga Ranting memutuskan untuk membunuh Kiai
Singaprana.
Raga Ranting tinggal di
Pegunungan Kendeng sedangkan Kiai
Singaprana tinggal di puncak pegunungan sebelahnya. Untuk menghabisi riwayat
Singaprana pagi harinya Raga Ranting
mengikatkan seutas tali di dua puncak pegunungan . lalu dia menggulirkan sebutir telur yang bergulir
luar biasa cepatnya dari rumahnya dan membentur puncak pegunungan tempat
tinggal Kiai Singaprana berada. Benturan itu menimbulkan bunyi yang luar biasa
kerasnya melebihi seribu bom nuklir.
Oleh karena itu puncak gunung itu patah / Tugel . Akan tetapi Kiai Singaprana selamat dan rumahnya pun
tetap utuh, dan termasuk segala perabot
di dalamnya. Tetapi Apakah Kiai dendam?
Tenti tidak! Jangankan dendam marah pun tidak.
Melihat hal tersebut Raga Ranting semakin panas dadanya. Dendamnya
berkobar lagi. Seluruh tubuh dan jiwanya
dikuasai kebenciannya sendiri sehingga akhirnya seluruh tubuhnya hancur luluh
(penduduk Surakarta mengatakan rontang-ranting Yaitu suatu istilah yang sampai kini masuk
kosakata Bahasa Jawa.)
Hati Kiai Singaprana yang
begitu baik memberikan kesan bagi penduduk setempat bahwa mungkin Kiai itu
sebenarnya salah seorang wali yang sabar. Pembicaraan demikian makin meluas ,sehingga
wilayah tempat tinggal Kiai Singaprana sampai sekarang disebut Walen. Kesaktian
dan kebaikan hati Kiai Singaprana tersebar luas ke mana-mana sehingga Sultan
Bintara di Demak pun tertarik mendengar cerita punggawa tentang kiai tersebut.
Tidak heran jika Bintara ingin
mengunjungi Kiai Singaprana untuk membuktikan seberapa jauh kesaktian kiai tersebut.
Agar kedatangannya tidak
mencurigakan maka Sultan Bintara
menyamar sebagai pengemis. ketika tiba di depan rumah Kiai Singaprana pengemis itu disambut dengan penuh hormat oleh
kiai singaprana bahkan disilakan duduk di balai-balai. Kiai Singaprana sendiri
duduk di lantai tanah, seperti menghadap
raja. Tiap kali pengemis itu bertanya
pasti dijawabnya dengan bahasa tinggi
penuh hormat serta dimulai dan diakhiri dengan sembah. Setelah tiga kali
berturut-turut Kiai Singaprana menyembah, pengemis itu tidak tahan lagi lalu turun dari balai-balai dan Kiai Singaprana
dipeluk serta dipuji sebagai kiai yang waskita (tajam pengamatannya).
Bersamaan dengan itu Bintara mengemukakan bahwa ia akan menghajar
Kebo Kenanga yakni Adipati Pengging yang
congkak. Mendengar itu Kiai Singaprana tidak menyetujui gagasan itu karena Kebo
Kenanga adalah orang yang sakti. Kenyal kulitnya, tidak bisa dilukai oleh
senjata apapun; keras tulangnya bagaikan besi dan kuat ototnya bagaikan kawat
baja. Untuk mengalahkannya harus diusahakan suatu cara tertentu dan khusus.
Singkat cerita Sultan Bintara harus
bersabar. Saran ini ditafsirkan Sultan Bintara sebagai usaha Kiai Singaprana
untuk menghalangi maksudnya bahkan
Bintara menuduhnya bersekutu dengan Kebo Kenanga dan Kiai pun menunduk, sedih lalu menggeiengkan kepala tiga kali.
Untuk menghindari perdebatan
yang berkepanjangan lalu Kiai
Singaprana segera berkata agar Bintara membuktikan ucapannya. Caranya sebagai
berikut Jika menjelang penyerangan nanti
pasukan Demak memukul bendhe (gong kecil) sebagai tanda penyerbuan dan
bunyinya pelan itu tanda serangan mereka
akan gagal total. Jika berbunyi keras akan lancar gempuran pasukan Demak dan kemenangan jelas pada pihak Bintara.
Dengan agak jengkel,
Bintara keluar dari rumah lalu la
berjalan lebih tegap dan tidak lagi sebagai pengemis. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika tiba di suatu
desa. Di sana ia menjumpai pasukan Demak bersiaga Karena tidak tega, Pasukan Demak mengikuti
perjalanan Bintara dari belakang sambil berlatih perang-perangan. Kesetiaan
pasukan itu dipuji Bintara Sebagai
tanda terima kasih dan desa itu dinamakannya
dusun Manggal. Asal Kata ini dari kata manggala, yang artinya pimpinan
pasukan.
Tibalah saatnya bagi
Bintara untuk membuktikan kata-kata Kiai Singaprana Bendhe yang tergantung di pohon duwet , diperintahkan
untuk dipukul. Bintara heran sekali yang terdengar hanya suara goyangan bendhe
bergesekan dengan ranting pohon duwet. Dan pukulan kedua menghasilkan bunyi aum yakni
suara harimau. Penduduk yang tinggal di
desa lain yang tidak jauh dari
peristirahatan pasukan Demak, dan mereka berteriak , bahwa mereka mendengar suara simo
(harimau). Karena itu desa itu
hingga kini disebut desa Simo.
Suara aum dari gong
akhirnya meyakinkan Sultan Bintara bahwa Kiai Singaprana memang benar-benar
sakti mandraguna. Beliau pun bertitah kepada pasukannya agar kembali ke Demak.
Tidak lama kemudian Kiai Singaprana, yang sebenarnya sudah tua
dan merasa bahwa ajalnya hampir tiba. Dia
berpesan kepada istrinya yakni Nyai Singaprana, bahwa jika ia meninggal agar dikuburkan di
gunung yang putus karena ledakan benturan telur Raga Ranting.
Demikianlah Kiai Singaprana
akhirnya dimakamkan di Gunung Tugel oleh penduduk setempat, Kiai Singaprana
juga disebut Kiai Singaprana Simawalen dan perlu diketahui desa Simo yang
terletak di sebelah timur dan desa Walen yang terletak di sebelah barat
berjarak empat kilometer.